Baru saja aku merebahkan
tubuh yang terasa lelah ini, ketika dengan tiba-tiba semua peserta diminta
berkumpul di aula. Berat sekali menegakkan badan, tapi jika tetap tinggal di dalam
ruangan ini juga bukan pilihan yang bagus. Rintik hujan masih berjatuhan
diiringi sapuan angin yang cukup garang. Daun pintu yang tidak lagi kokoh sebab
telah lapuk dimakan usia sedikit-sedikit menjerit ringkih oleh tendangan sang
Bayu. Aku putuskan untuk segera mengikti teman-teman ke aula daripada terlalu
lama bermanja dengan kantuk.
Berdirilah di hadapan
kami sang Korlap beserta seorang laki-laki setengah baya. Sosoknya yang tegap
telah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang terlatih oleh militer.
Dimulai dari perkenalan singkat, beliau memberi kami warning agar lebih
memperhatikan kedisiplinan, terkait juga dengan kebersihan, kerapihan dan
kepatuhan.
Hingga mulailah cerita
tentang rumor yang selama ini ada menyelubungi wilayah ini. Wingit,
angker. “Intinya jagalah keharmonisan, lingkungan bersih, dan disiplinlah dalam
segala hal,” begitu bapak yang telah bertugas selama 5 tahun di sini menegaskan.
”Malam ini kalian merasa
tidak bahwa hawa, suasana di sini sangat tenang. Maka dari itu saya menghimbau kepada
adik-adik semua agar tetap waspada. Semoga tidak terjadi apa-apa ”
Owh…..bulu kuduk
bereaksi. Ah tapi kantuk ternyata menang mendominasi ragaku. Sekembalinya ke
ruang tidur aku tidak perlu waktu yang lama untuk terlelap. Bismillah.
Tidak seperti malam
sebelumnya, kali ini peserta dibangunkan lebih dini. Untuk ? Acara
malamlah. Aku kira bakal diajak jalan jauh menuju bukit di sebelah utara... yah
karena kita diharuskan bawa senter sebagai syarat wajib. Senter dikumpulkan dan aku tak bisa menebak
lagi entah mau diapakan.
Dengan mata tertutup oleh
selembar slayer satu persatu orang berpegangan ke pundak teman di depannya.
Sampai saat itu aku masih saja menganggap bakal diajak tour malam jauh ke luar
barak. Seorang teman bahkan memintaku tukar posisi, dia tidak mau menjadi
bagian ujung ekor barisan.
Kami berputar sebentar
dengan langkah kecil. Prasangkaku berbicara, jangan-jangan mau di lepas
satu-satu lagi. Saat sepasang tangan milik teman di belakangku ku rasakan tak
lagi berada di pundak, aku memanggil-manggil namanya dengan cemas. Ada apa
ini ? Penculikan ?
Selang beberapa detik
kemudian giliran peganganku yang dipaksa lepas dari pundak teman di depanku…..
Aku gelagapan, pun dia yang merasa aku terlepas dari barisan. Sama sepertiku,
ia juga memanggil-manggil namaku dengan gugup dan bingung.
Aku sudah pasrah untuk
apa yang akan kualami kemudian…..
Hingga seseorang
memaksaku untuk duduk. Oopss…cuma duduk manis ? Atau jangan-jangan
ini adalah antrian menuju kegelapan di antah berantah. Suasana sepi hanya
terdengar beberapa gerakan dan bisik lemah beberapa orang. Agak lama aku menunggu
seraya merapal berbagai doa keselamatan……
***
Kurang lebih sejam
lamanya dibuka forum sharing antara 2 angkatan kakak adik. Masih dengan mata
tertupup. Keluarlah unek-unek dari kedua belah pihak dan diakhiri dengan saling
memaafkan dan berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hubungan ukhuwah itu.
Setelah itu, game pun di
mulai: Bentrokan fisik !
Gelap masih menyelimuti
langit, dingin menyerubut. Pepohonan tampak sebagai raksasa hitam yang
menjulang. Barak yang tua dengan kesendirian berdiri tegar.
Kami larut dalam game,
tak lagi memperdulikan suasana. Teriakan kami lepas, menyerang dan bertahan
dari serbuan yang brutal. Game kedua tidak jauh beda. Masih juga mengandalkan
fisik. Hingga jatuhlah seorang kawan, pingsan. Game pun usai.
Shalat tahajud dilaksanakan,
dilanjutkan subuh. Kantukku menerjang kesadaran, aku tak dapat mengikuti
kultum. Selain sayup-sayup suara yang menambah berat lagu nina bobok untukku.
Oh ya, aku harus segera
memutuskan bagaimana aku pulang secepatnya. Sebelum terlambat dan aku
dinyatakan : gugur ! Kupandangi sekeliling, mencoba meminta bantuan.
Tapi lidahku kelu siapa yang mau pulang sepagi ini ?? Sementara beberapa
kawan justru menyusul kemari nanti. Aku mau tukar tempat dengan mereka…..
***
Olah raga telah
disudahi. Sarapan pagi bersama seperti kemarin kali ini aku lebih bergairah.
Nasi pecel dan mendoan, masih hangat.
”Makannya
mau diberi waktu atau tidak ? ”
”Tiiiidaaaakkkk…..” kompak
kami menjawab.
”Oke. Tak
pake waktu. Tapi ada aturannya. Hemm…sebungkus di tangan kalian itu bisa habis
dalam 6 kali suap. Nah, untuk itu, buat yang putra, saya kasih sampai 10 suap
dan putri 15 suap. tidak ada negosiasi lagi ! ”
”hhhuuuuuuu…”
”Ayo mulai, hitungan dari
saya ! ”
Aku tak merasa harus
menuruti aturan itu. Terlalu sayang untuk melewatkan rasa nikmat ini. Kubuat
aturan sendiri, yang penting habis kandas dan aku puas. Hehehehehe.
Matahari semakin tampak
nyata sinarnya. Jarum jam terus bergerak. Hampir-hampir air mataku meleleh,
teringat lagi proses seleksi yang seharusnya kujalani pagi ini. Tapi ragaku
masih di sini, tak berdaya. Aku masih ingat perjuanganku sore itu, membawa
berkas pendaftaran dengan cemas di menit-menit terakhir. Saat itu aku masih
yakin, aku akan mendapatkannya. Aku meyakininya sebagaimana aku percaya bahwa
mentari terbit dari timur, namun siapa yang bisa menjamin ia akan menampakkan
diri di setiap pagi hari??
Aku tahu, jika aku
memang bersungguh-sungguh, aku akan mengusahakannya hingga mentok. Dan Allah pun akan memudahkannya !
Dalam urusan ini,
upayaku tidaklah seberapa. Aku hanya bersedih dang kecewa, tetapi tidak berbuat
banyak untuk berjuang. Ya Allah, aku cuma percaya bahwa akan kudapati jawaban
yang indah nanti, atas apa yang terjadi sebenarnya untukku.
Aku tidak boleh merusak
hari ini dengan duka dan penyesalan yang tiada guna, itu akan memperburuk
keadaan. Sudahlah, biarkan hatiku melupakan sakit dan kembali bergembira untuk
menyambut kejutan-kejutan hari ini. Maka aku pun fokus pada tugas yang mesti
kami tuntaskan, sejumlah ayat mesti kami hafal sebagai tiketnya. Kemudan
bersama seluruh peserta, aku ikut masuk dalam metromini yang telah disewa untuk
membawa kami ke suatu tempat. Dan kebimbanganku putus sudah, keputusan telah
final, aku akan menyandang status gugur dalam seleksi beasiswa itu.
Air Terjun 7 Bidadari,
sebaris tulisan pada sebuah papan terbaca olehku. Langsung deh otakku
menghubungkan kisah Jaka Tarub yang beberapa kali kudapati di buku-buku cerita
rakyat nusantara. Mungkin kisah itu memang diangkat dari legenda yang ada di sini. Yang jelas aku belum menemukan tulisan yang mengangkat bukti itu secara akurat. Alih-alih aku bukan mahasiswa sejarah ataupun sosiolog. ya sudahlah, leave it !
Kehadiran kami telah memecah sepi pagi di salah satu tempat wisata
alam itu. Belum banyak wisatawan yang mengunjunginya dalam waktu sepagi itu.
Teriakan yel-yel dari masing-masig kelompok dan serunya games di arena terbuka
itu telah menghangatkan suasana. Kami berpindah ke arena basah, masuk ke sungai
yang airnya tidak lebih tinggi dari setengah tinggi badan orang dewasa. Aku dan
teman-teman turun lengkap dengan sepatu di kaki. Basah sekalian saja !
Bebatuan yang ada di sana sini membuat kami harus lebih berhati-hati. 3 Pos air
telah kami lewati tanpa memikirkan rasa dingin yang menggigilkan
tubuh. Puas juga bisa berbuat sedemikian nekatnya. Coba kalau hanya sekedar
berwisata, rasanya kok tidak mungkin ya bakal sebasah dan sePeDe itu di
hadapan para pengunjung lainnya yang mulai berdatangan. Yah, mungkin kami juga
menjadi salah satu objek yang patut dinikmati untuk hari itu selain air terjun yang mengalir deras dari
ketinggian.
***
Kami dikumpulkan untuk
acara penutupan. Di aula itu, seluruh peserta dan panitia, juga manajemen duduk
melingkar.
”Sengaja saya
bersikap tegas untuk tidak mengizinkan peserta untuk keluar dari sini sebelum
acara ini selesai. Bahkan, saya telpon langsung teman-teman yang izin di awal
untuk segera menyusul kemari. Karena acara ini telah kami rencanakan dengan
sungguh-sungguh agar temen-temen etoser mengambil manfaatnya.”
”Sebenarnya
kalau mau, sekarang ini saya sedang berada di daerah Solo untuk mengisi
training motivasi. Saya harus menghilangkan nafsu saya sehingga saya memilih
untuk tetap di sini, mendampingi teman-teman. Itu tidak mudah, jika dihitung
secara materi, di sana saya akan dapat sekian juta, itu jauh lebih besar
untungnya bagi saya dibandingkan di sini saja.”
”Tapi tidak.
saya melimpahkan orang lain untuk menggantikan amanah saya di sana, demi
teman-teman. Kami sedang dalam tahapan membina SDM yang natinya menjadi para
pemimpin dan tonggak kesuksesan bangsa. Ini adalah lebih besar dan lebih
panjang efeknya.”
Jadi jika aku
harus mengurungkan ikut seleksi lanjutan beasiswa itu, adalah bukan sesuatu
yang terlalu menyakitkan. Karena ternyata banyak pula agenda-agenda besar dari
teman-teman saya, pihak manajemen, panitia, yang juga harus dikorbankan. Untuk
tetap bertahan di sini, untuk mendapatkan berbagai ilmu dan inspirasi. Kini aku
hanya percaya, masih banyak rencana lain dari Allah yang jauh lebih indah.
-----The
end---